Kamis, 17 Mei 2012
Modal Cinta Tak Cukup buat Menikah di Korea
Biaya rata-rata untuk pernikahan pada tahun 2011 ini melonjak sekitar 270 persen dari tahun 1999, sementara inflasi pada periode yang sama juga membubung hingga 45.5 persen. Total biaya ini jauh melampaui pendapatan rumah tangga rata-rata tahunan yang hanya berkisar 48.3 juta won Korea (atau sekitar Rp 391 juta), demikian menurut data pemerintah.
Dengan demikian pasangan muda yang ingin menyatukan hubungan ke jenjang pernikahan terpaksa meminjam dari orangtua mereka atau mengambil pinjaman dari lembaga keuangan. Kondisi ini diperparah karena adanya budaya tabu di Korea dalam hal diskusi keuangan informal antara kedua belah pihak keluarga sehingga banyak yang menolak membicarakan tentang tingginya biaya menikah.
“Masyarakat Korea sangat erat kekerabatannya, dan mereka sangat peduli akan pandangan orang lain terhadap mereka,” tutur Harris H. Kim, asisten profesor sosiologi di Universitas Ewha Womans.
“Pernikahan berlaku seperti simbol jati diri, ini seperti penanda dimana anda berdiri di antara masyarakat,” imbuhnya, seperti dilansir Yahoo (28/4).Seorang wanita berusia 27 tahun yang bekerja dalam industri keuangan (yang minta dirahasiakan identitasnya) mengatakan, bahwa orangtuanya membayar hampir 90 persen dari biaya pernikahannya yang mencapai 140 juta won (sekitar Rp 1,1 milyar).
“Kami terpaksa menggunakan uang orangtua yang mungkin berasal dari pengorbanan tabungan uang pensiun mereka sendiri,” keluhnya.
Senada dengan wanita di atas, seorang guru TK berusia 30 tahun (yang hanya memberikan nama keluarganya Kim), mengatakan bahwa suaminya yang berpenghasilan 40 juta won, terpaksa meminjam sebesar 45 juta won tambahan, selain bantuan keuangan dari kedua orangtua masing-masing keluarga. Yang membuat miris, biaya itu hanya untuk mengundang 600 tamu. Padahal hampir setengah dari tamu yang diundang itu tak dikenal kedua mempelai karena merupakan teman dari kedua orangtua pasangan.
Bukan cuma pesta saja yang menelan biaya selangit. Tradisi pemberian hadiah bagi kedua keluarga calon mempelai juga membutuhkan uang cukup banyak. Dalam masyarakat tradisional, keluarga dari mempelai pria dan wanita akan bertukar hadiah seperti sutra mahal untuk baju baru dan perhiasan sederhana. Cara seperti itu merupakan bentuk terima kasih kepada masing-masing keluarga. Namun jaman sekarang, pemberian kain sutra sudah ‘disulap’ dengan tas bulu atau handbag mewah, sementara perhiasan sederhana ‘disulap’ jadi satu set penuh permata.
Namun itu belum seberapa. Yang paling menghabiskan anggaran pernikahan adalah harga rumah yang meroket. Maklumlah, pengantin pria harus menyediakan rumah sebelum menikahi gadis idamannya. Menurut data dari couple.net, sebuah perusahaan biro jodoh, uang yang dihabiskan oleh pasangan pengantin baru untuk rumah pada tahun lalu adalah 2,5 kali lebih tinggi daripada tahun 2000 silam. Ternyata biaya untuk rumah menelan 70 persen dari total anggaran pernikahan.
“Lima tahun belakangan ini, aku banyak didatangi klien yang secara blak-blakan mencari pasangan yang setidaknya mampu untuk menyewa sebuah rumah,” jelas Sungmi Lee, manajer di couple.net.
Meski sebagian besar pasangan memilih pernikahan yang ‘mahal’, namun ternyata banyak juga yang kurang senang dengan tradisi seperti itu.
“Belum tentu perhiasan yang mahal itu benar-benar berguna atau indah, dan anda tahu anda hanya akan menyesal menggunakan uang untuk membeli barang-barang itu setelah anda benar-benar menikah dan butuh uang untuk mencukup kebutuhan rumah tangga,” imbuh Kisun Lee, konsultan berusia 29 tahun ini.
1 komentar:
mujurlah am orang indonesia,, hahahah,,
Posting Komentar