Selasa, 15 Mei 2012

Apa Kabar Dunia Pendidikan

Pendidikan menjadi sebuah tolak ukur maju atau tidak sumber daya manusia. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran seperti yang tercantum dalam UUD 1945 tanpa memandang faktor apapun juga. Pendidikan yang berkualitas akan menghadirkan pula sumber daya manusia yang berkualitas pula, ini berbading terbalik apabila pendidikan itu dilaksanakan dalam bentuk yang sederhana. Daerah terpencil selalu mendapat imbas atas image sebagai daerah terbelakang dalam dunia pendidikan.
Tolak ukur berhasilnya pendidikan dapat dilihat dari tersedianya sumber daya manusia, pada umumnya papua selalu menjadi barometer kurang tersedianya sumber daya manusia. Kenapa hal tersebut sampai terjadi dengan begitu melimpahnya sumber daya alamnya. Menjadi pertanyaan yang patut untuk direnungkan kembali. Melalui sejumlah pengalaman yang dialami dapat saya sampaikan bahwa memang kualitas pendidikan di daerah terpencil papua memang sangat memprihatinkan hal ini disebabkan oleh beberapa faktor :
1. Tidak tersedianya pra sarana dan sarana pendidikan yang memadai;
2. Letak geografis atau medan yang menyulitkan;
3. Minimnya tenaga pengajar khususnya di daerah pedalaman;
4. Terbatasnya akses informasi dan komunikasi;
5. Kurang tersedianya kebutuhan yang menyebabkan seseorang tidak betah ditempat kerja.
Tentunya banyak lagi faktor lain, namun sekiranya kelima faktor tersebut diatas yang selalu menjadi pertimbangan bagi guru sebagai tenaga pengajar untuk datang dan memberikan ilmunya kepada siswa. Guru yang diharapkan mampu memberikan penyegaran justru tidak mampu untuk bertahan hidup di suasana yang tidak sesuai dengan kesehariannya, ketika itu terjadi maka guru hanya akan berada di tempat kerja sebulan dan selebihnya memilih kembali ke kota dan akan kembali lagi apabila ada yang diperlukan. Semua orang ingin menjadi guru tetapi guru yang mengabdi di kota, guru di pedalaman terpencil bukan pilihan. Pernah dalam suatu kesempatan menguji kenaikan tingkat pramuka saya bertanya pada seorang siswa pada sebuah sekolah berbasis kependidikan yang kelak disiapkan untuk menjadi guru “kamu menjadi guru atas dasar kebutuhan atau panggilan” pertanyaan yang tidak pernah terjawab hingga saat ini. Ironisnya hal-hal ini terjadi begitu saja, akhirnya anak-anak muda yang mendambakan pendidikan hanya akan bermimpi saja tanpa mendapatkan kesempatan untuk setidaknya menulis surat kepada orang-orang yang dikenalnya.
Teman saya dalam tugas kerjanya ( bukan sebagai guru ) pada sebuah daerah terpencil di pedalaman papua yang hanya dapat dijangkau dengan speedboat selama 2 hari, semua serba terbatas, tidak ada fasilitas apapun padahal itu adalah sebuah distrik/kecamatan hanya menara mercusuar yang berdiri gagah mengatur lalu lintas laut. Ia menceritakan pengalamannya menjadi guru dadakan pada sebuah sekolah menengah, ketika dipanggil untuk berkumpul mereka datang dengan membawa daun sebagai kertas dan ranting kayu untuk menulis. Apa yang akan ditulis dari itu ? sungguh menyedihkan, ketika pendidikan di daerah perkotaan atau daerah lain semakin maju dengan fasilitas-fasilitas yang memukau semacam laptop, internet dan lainnya masih ada anak-anak yang bertekad melanjutkan pendidikan dengan bertelanjang kaki, berkertaskan daun, berpensil ranting dengan senyum malu-malu datang untuk hanya sekedar diajar bernyanyi dan bercerita.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mereka menyesuaikan diri dengan sistem UAS dan UAN yang menuntut standar kelulusan atau kompetensi yang tinggi ? bagaimana menciptakan sumber daya manusia untuk membangun daerahnya ? apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini ? Pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab, maka butuh perhatian ekstra dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan untuk menjawab tantangan ini.
Majulah pendidikan Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar